Ceritain dong kapan titik terendah dalam diri kamu yang akhirnya bisa bikin kamu makin happy dan grow up karena kejadian itu

Awal tahun ini mungkin adalah titik paling rendah dalam hidup saya. Nyaris selama dua tahun saya berhadapan dengan berbagai masalah yang membuat kondisi mental memburuk. Masalah keluarga hingga performa pekerjaan yang terus menurun membuat saya tak lagi bisa berpikir lurus atau bersikap baik-baik saja.
Atas dorongan teman dan pacar saya memutuskan untuk melakukan konseling psikologis di Yayasan Pulih. Menemui dokter karena gangguan kesehatan mental bukan sesuatu mudah sebenarnya. Butuh waktu yang lama sebelum akhirnya saya bisa terbuka dengan dokter perihal apa yang saya rasakan dan alami.
Yayasan Pulih terletak di Jalan Teluk. Peleng №63A, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Rumah dua lantai ini berpagar putih, ada gazebo kayu di halaman depan. Pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu saya demikian gugup, tangan saya basah, dan nyaris membatalkan janji konseling karena rasa malu.
Bagaimana jika saya dianggap gila? Bagaimana jika sebenarnya saya hanya mengada-ada? Bagaimana jika saya hanya lelah dan butuh liburan? Pikiran-pikiran itu membuat suara di kepala saya bising dan akhirnya nekat masuk karena perkara sepele. Haus dan ingin minum.
Di ruang depan Yayasan Pulih ada dua sofa dan kursi kantor, seorang perempuan duduk sambil memegang tisu, kedua matanya bengkak, ia tersenyum saat saya masuk. Kikuk dan kaget ditatap begitu saya balik tersenyum, tidak menyapa, dan diam selama 15 menit sampai akhirnya saya berani bertanya tentang janji konseling.
Saya berusaha baik-baik saja. Mencoba untuk duduk dengan rileks, padahal sudah tak ada lagi tenaga. Energi saya benar-benar habis untuk datang ke Pulih. Sembari menunggu dokter saya berkomunikasi dengan pacar dan Syaldie, dari Aliansi Laki-laki Baru. Ia yang merekomendasikan saya ke Pulih, Syaldie bilang bertemu ahli itu bagus untuk membantu saya mengatasi depresi.
Sesi pertama merupakan hal yang paling sulit. Saya harus bicara, karena dengan bicara saya bisa menjelaskan apa yang menjadi beban. Masalahnya seumur hidup saya tak pernah terbuka soal diri sendiri, saya selalu menyimpan masalah sendiri, ogah berbagi dan menganggap bahwa mengeluhkan kondisi mental adalah tanda-tanda kelemahan.
Sebelum masuk ruangan, saya mengoleskan minyak kayu putih di tangan. Bau kayu putih membuat saya rileks, ruangan tempat konsultasi itu ada di lantai dua. Tidak terlalu luas, tapi cukup nyaman untuk dua orang asing bicara. Psikolog yang jadi pendamping saya seorang perempuan yang mungkin 5 tahun lebih tua dari saya, matanya teduh, ia mempersilakan saya memulai cerita.
Memulai apa? Saya tak tahu harus apa. Seluruh isi kepala rasanya macet. Mulut saya diam, terkunci rapat. Pundak saya kaku, sejak kemarin leher saya terasa sakit, seperti ada balok kayu yang menempel, susah digerakkan dan nyilu. Kami berdua diam, saya tak tahu harus mulai dari mana, tak tahu harus bicara soal apa.
https://medium.com/@arman_dhani/bagaimana-cara-saya-mengakui-depresi-dan-mencari-bantuan-b7fcd68336cf
Atas dorongan teman dan pacar saya memutuskan untuk melakukan konseling psikologis di Yayasan Pulih. Menemui dokter karena gangguan kesehatan mental bukan sesuatu mudah sebenarnya. Butuh waktu yang lama sebelum akhirnya saya bisa terbuka dengan dokter perihal apa yang saya rasakan dan alami.
Yayasan Pulih terletak di Jalan Teluk. Peleng №63A, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Rumah dua lantai ini berpagar putih, ada gazebo kayu di halaman depan. Pertama kali menginjakkan kaki di rumah itu saya demikian gugup, tangan saya basah, dan nyaris membatalkan janji konseling karena rasa malu.
Bagaimana jika saya dianggap gila? Bagaimana jika sebenarnya saya hanya mengada-ada? Bagaimana jika saya hanya lelah dan butuh liburan? Pikiran-pikiran itu membuat suara di kepala saya bising dan akhirnya nekat masuk karena perkara sepele. Haus dan ingin minum.
Di ruang depan Yayasan Pulih ada dua sofa dan kursi kantor, seorang perempuan duduk sambil memegang tisu, kedua matanya bengkak, ia tersenyum saat saya masuk. Kikuk dan kaget ditatap begitu saya balik tersenyum, tidak menyapa, dan diam selama 15 menit sampai akhirnya saya berani bertanya tentang janji konseling.
Saya berusaha baik-baik saja. Mencoba untuk duduk dengan rileks, padahal sudah tak ada lagi tenaga. Energi saya benar-benar habis untuk datang ke Pulih. Sembari menunggu dokter saya berkomunikasi dengan pacar dan Syaldie, dari Aliansi Laki-laki Baru. Ia yang merekomendasikan saya ke Pulih, Syaldie bilang bertemu ahli itu bagus untuk membantu saya mengatasi depresi.
Sesi pertama merupakan hal yang paling sulit. Saya harus bicara, karena dengan bicara saya bisa menjelaskan apa yang menjadi beban. Masalahnya seumur hidup saya tak pernah terbuka soal diri sendiri, saya selalu menyimpan masalah sendiri, ogah berbagi dan menganggap bahwa mengeluhkan kondisi mental adalah tanda-tanda kelemahan.
Sebelum masuk ruangan, saya mengoleskan minyak kayu putih di tangan. Bau kayu putih membuat saya rileks, ruangan tempat konsultasi itu ada di lantai dua. Tidak terlalu luas, tapi cukup nyaman untuk dua orang asing bicara. Psikolog yang jadi pendamping saya seorang perempuan yang mungkin 5 tahun lebih tua dari saya, matanya teduh, ia mempersilakan saya memulai cerita.
Memulai apa? Saya tak tahu harus apa. Seluruh isi kepala rasanya macet. Mulut saya diam, terkunci rapat. Pundak saya kaku, sejak kemarin leher saya terasa sakit, seperti ada balok kayu yang menempel, susah digerakkan dan nyilu. Kami berdua diam, saya tak tahu harus mulai dari mana, tak tahu harus bicara soal apa.
https://medium.com/@arman_dhani/bagaimana-cara-saya-mengakui-depresi-dan-mencari-bantuan-b7fcd68336cf
Liked by:
Rini
Puteri Amelia Ernyana