No no no. What I'm trying to say is.. You talk about the possibilities, but I want you to think about "all" of the possibilities.
Marriage won't guarantee you anything. People still separating, though.
So, why bother thinking about the risks? :)
That's why I said, 'kalau gak menikah ya putus'. You know what? We need a room, a comfy bed, savory snacks, bottles of soda, and a full night to discuss this further. :p
How do you deal with negative comments?
Give 'em positive vibes.
https://ask.fm/diahayulhs/answer/146340058059
Tapi kan, tanpa semua hal itu, manusia memang bisa saja pisah sewaktu-waktu, malah mungkin saja tanpa alasan apapun. Kenapa kemungkinan selain itu tidak dipertimbangkan? Hmm?
Apa sih masa depan bagi dua orang yang sedang berpacaran? Kalau bukan menikah ya, putus. Misal, gue sekarang sedang berpacaran dengan seorang laki-laki tulen berkromosom XY, mapan, berkeyakinan sama, dan mendapat restu orangtua. Kami rukun-rukun aja, bahkan mulai merencanakan pernikahan. Wow, indah bukan? Tidak perlu terbayang-bayang mimpi buruk bahwa hubungan pacaran kami harus berakhir hanya karena: tidak dapat restu orangtua, beda keyakinan dan tidak ada yang mau pindah, jenis kelamin kami sama, atau ternyata masih satu keluarga besar. . Lain halnya kalau, katakanlah, gue sekarang berpacaran dengan seorang pria dengan keyakinan berbeda. Kecuali hal ajaib bin magis terjadi macam orangtua gue mengizinkan anaknya menikah lintas agama, atau kami nekat kawin lari (yang mana gak akan pernah terjadi), hubungan kami cuma akan jadi dead-end relationship. Atau misal gue berpacaran dengan seorang perempuan; another dead-end relationship. Tidak ada masa depan (dalam konteks pernikahan dan dilanjutkan dengan menjalani hidup bersama sampai tua). Pada akhirnya, kami sama-sama ditampar kenyataan bahwa suatu hari nanti hubungan ini perlu diakhiri demi kebaikan bersama. . Ngomongin ini jadi sedih.
Aku ingin memberi dia komen agar dia bisa terus menulis ka . Km gk salah aku yg salah gk ngasi penjelasan yg jelas .
Berarti kita tadi gak nyambung, ya. Maaf ya kalau saya sempat menyinggung kamu. 😅 Saya gak pandai menyemangati orang, eheheh. Tapi saya sendiri juga senang menulis, dan saya paling senang kalau ada yang datang kepada saya dan bilang, "Bikin lagi, dong!"
Gk kak . Itu punya tmnku , itu cerita dia . Dia punya bakat untuk nulis tapi dia gk pede . Saya kita kaka bisa bantu ternyata engk. Tp gpp kok ka semoga kebaikan kk dibls oleh tuhan (-: amin
Lho, kan kamu nanya cara ngasih komen? :( Apakah maksudnya tadi kamu mau nanya cara ngasih masukan yang baik dan membangun buat temanmu? Kalau begitu, saya salah karena mengartikan pertanyaan kamu secara harfiah?
Scroll ke bawah, tap/klik kolom 'Enter your comment'. But hold on, are you tricking me into reading your story?
Pendapat kamu tentang pacaran beda keyakinan?
Pacaran beda keyakinan, pacaran dengan orang yang masih ada hubungan keluarga, pacaran dengan sesama perempuan, dan pacaran dengan orang yang sekiranya gak akan direstui keluarga (sampai tahap bikin keluarga jadi selisih pendapat terus)... sebisa mungkin saya menghindari semua itu supaya saya gak perlu lagi mengalami dead-end relationship. Harus putus pas lagi sayang-sayangnya.
What's the most irritating sexist humor you've ever seen in the internet?
1. Unboxing Raisa Iya, orang-orang yang beramai-ramai bikin hashtag hari patah hati nasional, yang beramai-ramai menuhankan keperawanan, yang beramai-ramai menganalogikan wanita sebagai permen, dan yang beramai-ramai bikin status di medsos "wanita yang baik untuk pria yang baik" ternyata begitu tolol sampai ikutan hashtag Unboxing Raisa. . 2. "Ada 70 cara menyenangkan wanita. Satu, ajak belanja. Sisanya, enam sembilan." Well fuck you and your underdeveloped brains.
For those with the anon feature turned off, what made you decide to turn it off? Do you ever think about turning it back on? For those who still have it on, why? Do you receive a lot of anon questions?
Nope, never been one. Semua kesimpulan yang kutarik itu berdasarkan observasi dan, kalaupun harus disebut intuisi/feeling, lebih ke gut feeling sih. Dan gut feeling itu toh pada dasarnya berasal dari kumpulan informasi yang gak kita sadari tercecer di dalam (mostly) alam bawah sadar kita. Kumpulan informasi itu asalnya dari mana? Yah, observasi---cara terbaik mendapatkan informasi.
Kapan terakhir kali kamu marah? Apa yang terjadi?
Suatu hari di bulan ini. Ketemu seorang self-proclaimed special snowflake yang berpikir kalau depresi itu edgy dan keren (saya punya beberapa teman yang memang betulan depresi, dan tidak ada satu pun yang menganggap itu keren (ya iyalah)); setiap hari ngomong mau mati, mau mati, tapi gak kunjung mati dan malah makin eksis di Instagram; membawa vibe buruk dan menimbulkan respons apaan-sih-lo dari orang-orang yang masih cukup rasional untuk tahu kalau dia tidak lebih dari seorang attention seeker (kalau tidak mau dibilang attention whore); merasa bahwa Bumi berotasi terhadap dirinya sebagai sumbunya, dan matahari serta bulan berevolusi terhadap dirinya sebagai pusat massanya (lucu, karena pusat massa Jupiter dan matahari yang jelas mahabesar saja bukan ada di pusat matahari, lol).
Misalnya, ada seorang cewe yg lg deket sama cowo. Trus cewe ini tuh tau kalo cowo yg lgi dkt sama dia ini juga dkt sama beberapa cewe. Tp si cewe masih aja suka sama ini cowo dan dia udh berusaha moveon tp dia gabisa.
Jdi mnurut kalian itu gimana?
Siapa apanya yang bagaimana sehingga apa?
Hal terbaik apa yang pernah kamu temukan di jalanan?
Lagi di kereta. Di sebelah saya ada ibu-ibu muda dan anaknya yang masih balita. Saya gak begitu dengar jelas, tapi si ibu ngajak anaknya nyanyi. Yang mereka nyanyikan bukan Balonku, Bintang Kecil, Pelangi, atau lagu-lagu yang biasa kita dengar dari mulut anak-anak. Mereka nyanyi Garuda Pancasila dan sebuah lagu nasional lainnya yang saya lupa apa. Manisnya. :)
Peristiwa apakah yang pernah membuat kamu canggung?
Saya punya seorang teman bernama Desy. Kami satu TK, dan kami juga satu TK dengan seorang anak bernama Tania. Rumahnya Tania ini kebetulan hampir tetanggaan dengan Desy, jadi ibu mereka saling kenal (ibu saya dan ibunya Tania juga saling kenal). . Suatu hari, saya lagi jalan kaki sama Desy. Di lingkungan rumahnya, Desy dipanggil Ayu (namanya Desy Ayu F.). Kami ngelewati ibunya Tania yang lagi duduk di depan rumahnya. Gak ada angin maupun hujan, ibunya Tania manggil, "Eh, Ayu mau ke mana?" Merasa kenal juga dengan ibunya Tania, saya jawab, "Mau ke (nama kolam renang), Bu." Ibunya Tania diam sebentar. "Berdua aja?" "Iya, Bu," jawab saya sambil cengengesan. "Ooh, Ayu anak (SMP) 62 bukan, sih?" "Heheheh, iya, Bu." (Kebetulan, saya dan Desy sama-sama sekolah di SMP N 62.) "Oooh, heheheh." Terus ibunya Tania ketawa-ketawa. "Bunda sehat, Yu?" Desy itu manggil ibunya 'bunda'. Terus saya bengong dong, dan sedetik kemudian baru sadar kalau selama ini ibunya Tania ngajak omong Desy, bukan saya. Desy, tanpa dosa dan dari tadi ternyata diam aja karena bingung kok saya menanggapi omongan ibunya Tania, akhirnya jawab sambil cengengesan, "Heheheh, iya. Bunda sehat kok." :'))