Aku bertemu dengannya lagi. Pertemuan ini sesuai permintaanku walau aku yakin aku akan menyesal nantinya. Aku sudah terbang menjauh, namun aku tertarik magnet dari tempat semula dan terjatuh. Aku tidak menyalahi magnet itu, aku menyalahi diriku sendiri karena belum bisa mengusirnya dari pikiranku.
"Mungkin, kamu ingin diperhatikan," katanya.
Aku balas, "Iya."
"Aku mudah memberi perhatian."
Aku diam. Kopi americano dengan gula tambahan yang aku pesan sebelum ia datang masih belum tersentuh.
"Dulu, sih, hanya ke kamu aja. Waktu terasa cepat, ya. Tiba-tiba kamu sudah punya yang baru," imbuhnya.
"Dari awal kita bertemu, aku sudah punya dua kekasih. Dan tidak ada yang seperhatian kamu."
"Aku aneh. Dulu ditolak kamu, masih saja berani menunjukkan diri."
"Aku juga bingung. Kenapa dulu aku tidak menerimamu, ya?"
"Pacaran...,"--ia menghela napas--"menurutku itu susah."
"Karena kamu tidak tertarik dengan hal itu, mungkin?"
"Aku malas dengan proses menembak lalu memutusnya. Lebih rumit dari sifat /dia/."
Aku mengangguk pelan, tanda mengerti.
"Kita lihat nanti, siapa yang paling lama," tantangnya.
Aku hanya tertawa. Dia juga. Tawa kami terdengar canggung.
View more