Kak, bagaimana tanggapan kk dengan konsep aurat? Aurat disini maksudnya adalah bagian tubuh yang harus ditutupi, dan yg jadi masalah saat disini saat perempuan diberikan kewajiban untuk menutupi lebih banyak anggota badan yang berarti membatasi hak perempuan untuk berekspresi dengan dirinya sendiri?
Terima kasih atas pertanyaannya.
Aurat, sebagai sebuah konsep sendiri tidak mempunyai definisi konseptual yang jelas. Istilah aurat sendiri sangat erat kaitannya dengan agama-agama samawi (abrahamic religion). Hasil studi literatur penulis menunjukkan bahwa dalam agama samawi sendiri, konsep aurat memiliki berbagai definisi tergantung mahzab mana yang dianut. Namun, bisa dibilang terdapat benang merah dari keseluruhan definisi aurat bagi perempuan, yaitu "to dress modestly". Definisi tersebut membuat aurat menjadi sangat relatif kan?.
Jika ditinjau dari sudut pandang agama, penulis sangat senang menggunakan argumen "verses are mute, their meaning depends on the reader". Jadi istilah aurat sangat terkait dengan hasil pemaknaan ahli kitab agama yang bersangkutan. Bagi pria pusar bisa menjadi aurat, bisa juga tidak tergantung ahli mana yang diikuti.
Penjelasan ini sejalan dengan perspektif sosiologis. Realitas sejatinya adalah proses negosiasi tanpa akhir, dimana individu bersama-sama mendefinisikan sesuatu. Jadi apa itu aurat dan bagian mana saja yang aurat adalah hasil kesepakatan bersama masyarakat, baik sadar maupun tidak sadar. Dan konsepsi mengenai aurat dapat berubah dari masa ke masa. Nah hal ini menjelaskan kenapa konsepsi aurat berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
Kembali ke pertanyaan, jika perempuan diberikan kewajiban untuk menutupi lebih banyak anggota badan, apakah itu membatasi hak nya?. Penulis melihat bahwa menutupi anggota badan dalam konteks keagamaan merupakan sebuah pilihan, atau hak perempuan. Ya, dengan menutup anggota badan mereka, bukan berarti mereka jadi budak agama dan tidak dapat berekspresi, menutup anggota badan justru menjadi bukti kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri lho!, sejalan dengan perspektif feminis postmodern. :3
Aurat, sebagai sebuah konsep sendiri tidak mempunyai definisi konseptual yang jelas. Istilah aurat sendiri sangat erat kaitannya dengan agama-agama samawi (abrahamic religion). Hasil studi literatur penulis menunjukkan bahwa dalam agama samawi sendiri, konsep aurat memiliki berbagai definisi tergantung mahzab mana yang dianut. Namun, bisa dibilang terdapat benang merah dari keseluruhan definisi aurat bagi perempuan, yaitu "to dress modestly". Definisi tersebut membuat aurat menjadi sangat relatif kan?.
Jika ditinjau dari sudut pandang agama, penulis sangat senang menggunakan argumen "verses are mute, their meaning depends on the reader". Jadi istilah aurat sangat terkait dengan hasil pemaknaan ahli kitab agama yang bersangkutan. Bagi pria pusar bisa menjadi aurat, bisa juga tidak tergantung ahli mana yang diikuti.
Penjelasan ini sejalan dengan perspektif sosiologis. Realitas sejatinya adalah proses negosiasi tanpa akhir, dimana individu bersama-sama mendefinisikan sesuatu. Jadi apa itu aurat dan bagian mana saja yang aurat adalah hasil kesepakatan bersama masyarakat, baik sadar maupun tidak sadar. Dan konsepsi mengenai aurat dapat berubah dari masa ke masa. Nah hal ini menjelaskan kenapa konsepsi aurat berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain.
Kembali ke pertanyaan, jika perempuan diberikan kewajiban untuk menutupi lebih banyak anggota badan, apakah itu membatasi hak nya?. Penulis melihat bahwa menutupi anggota badan dalam konteks keagamaan merupakan sebuah pilihan, atau hak perempuan. Ya, dengan menutup anggota badan mereka, bukan berarti mereka jadi budak agama dan tidak dapat berekspresi, menutup anggota badan justru menjadi bukti kuasa perempuan atas tubuhnya sendiri lho!, sejalan dengan perspektif feminis postmodern. :3