jy

{can't you listen? pt. 4B}

Jauzan bisa dengan mudah menemukan nama Syira. Dan Jauzan nyaris pingsan pas ngeliat keterangan 'meninggal dunia', tangannya udah lemes dan mukanya langsung pucat.
Untungnya dia salah lihat.
"Ah, anjing." Jauzan masih sempet mengutuk saking kesalnya karena salah lihat pas lagi panik, matanya emang kurang bisa fokus kalau nggak pakai kacamata, apalagi kamarnya gelap.
Pas akhirnya Jauzan bisa mencocokkan nama Syira dengan keterangan yang benar, Jauzan akhirnya bisa bernapas sedikit lebih lega, meskipun keterangannya nggak begitu sesuai sama harapan Jauzan.
Tapi setidaknya Syira masih ada disini.

Syira Kezya Fabian, 20 tahun, luka berat.

"Gimana, Zan?"
"Luka berat, Yel."
Gabriel ngangguk, "Lo mau kesana?"
Jauzan diem sebentar, mikir kira-kira dia mesti ngapain pas udah nyampe di Indonesia nanti. Dia bisa apa disana? Apa Syira butuh keberadaan dia atau nggak?
---

"Luka berat?" Ucap Bayu dengan suara tercekat. Bayu, Kenzo, Mayang, mama, papa, dan bunda udah ada di bandara. "Terus kapan korban dibawa balik kesini?"
"Kami sudah mengirim tim untuk menjemput korban, korban luka akan di dahulukan setelah diberi pertolongan pertama, semoga malam ini bisa tiba kembali disini. Dimohon tenang ya?"
"How the fuck can I be calm." Kutuk Bayu pelan, dia udah stres berat. Sementara Kenzo yang udah cukup tenang pun langsung ngerangkul Bayu, "Doain Syira ya, Bay."
"Nggak berhenti, Zo." Ucap Bayu yang keadaannya udah nggak karuan, rambutnya berantakan, matanya merah karena baru aja selesai nangis.
Kenzo kira dia udah yang paling panik dari semuanya, tapi setelah ketemu Bayu, ternyata dia lebih panik. Mayang pun cuma bisa diem daritadi dan harus dipegangin sama Kenzo supaya bisa lebih tenang.
Bunda yang emosinya paling stabil pun langsung memberi kata-kata yang menenangkan buat orangtua Syira, terutama buat mamanya yang masih aja nangis.
"Syira luka berat, ma." Ucap Kenzo.
Mama pun langsung mengucap syukur karena seenggaknya putrinya masih hidup. "Kemungkinan malam ini bisa sampai disini lagi karena yang luka berat diutamakan."
"Mereka mau diberi pertolongan pertama dulu sekarang disana pas timnya udah sampai." Tambah Bayu, yang secara ajaib tiba-tiba bisa bicara dengan lebih tenang.
Mama dan papa langsung mengangguk paham, bunda senyum, "Bener kan, Tuhan pasti ngasih yang terbaik untuk kita."
Denger omongan bunda, Bayu mulai berkaca-kaca lagi, mikir kalau yang terbaik untuk dia adalah Syira gak kenapa-napa. Luka berat itu gak pasti, luka beratnya yang kayak gimana, detailnya gimana? Syira gimana sekarang dengan luka beratnya? Dia kesakitan atau nggak? Semua pertanyaan itu berkecamuk di kepalanya sampai rasanya kepalanya udah mau meledak.
Dan disaat itu, tiba-tiba seorang staf berseru dari balik meja, "Keluarga dari Syira Kezya Fabian dimohon ke meja informasi segera."

View more

thank you!!??
---
{can't you listen? pt. 4A}

Bunda langsung ikutan diem sebelum kemudian nengok ke Bayu yang udah gemeteran. Bunda langsung megang tangan Bayu erat-erat, "Bayu...? Syira... gimana?"
Bayu langsung berdiri, jalannya udah limbung, dia ngambil kunci mobilnya dan langsung setengah lari meski berkali-kali hampir jatuh kesandung kakinya sendiri.
Bunda pun langsung nyusul Bayu dan ngambil kunci mobil di tangan Bayu, "Bunda yang setirin, ya?"
Bayu cuma bisa ngangguk pasrah dan ikut kemana bunda bawa dia. Bayu udah gak bisa mikir apa-apa, dia benci banget sama pikirannya sendiri, dia jadi ngerasa terkait sama kecelakaan itu, dia jadi ngerasa bersalah tanpa sebab.
Dan Bayu udah nggak tau lagi mesti mikir apa soal Syira saking takutnya firasat itu beneran kejadian lagi.
"Syira..." Ucap Bayu lirih, matanya udah merah.
Bunda langsung megang tangan Bayu, berusaha nenangin anaknya yang panik, "Bayu. Denger bunda ya... itu baru daftar penumpang aja, belum ketauan keadaannya, siapa tau Syira selamat kan?"
"Semoga apa yang bunda bilang bener..."
"Iya, pasti bener. Bayu jangan khawatir berlebihan dulu ya?"
Tapi gimana bunda... gimana caranya?
---

Keadaan di kediaman keluarga Fabian udah berantakan. Seluruh keluarga udah tau kalau Syira merupakan salah satu penumpang di pesawat naas itu. Mama gak berhenti nangis, Kenzo sibuk hubungin pihak bandara, papa nenangin mama.
"Jadi gimana? Udah ada kabar soal keadaan penumpang belum?! Ini udah 20 menit! Adik saya ada disana!!" Kenzo udah mulai emosi, perasaannya kacau, rasanya kayak setengah hidupnya udah diambil Tuhan.
"Gimana, Yan?" Tanya papa, "Kita ke bandara aja sekarang deh. Nelepon gini gak ada hasilnya."
Kenzo langsung nutup telepon dengan emosi, "Udah pa, ma, kita kesana aja sekarang."
"Papa aja yang nyetir ya, kamu lagi emosi banget gitu."
"Tapi papa juga..."
"Papa tau kamu lebih emosional dari papa sekarang." Kata papa yang berusaha tenang, Kenzo cuma bisa nurutin apa kata papanya. Papa bener, kalo Kenzo yang nyetir, bisa-bisa semua mobil ditabrakin sama dia saking emosinya.
---

Pusing, Jauzan pusing banget pas dapet kabar dari Kenzo kalau pesawat yang dinaikin Syira kecelakaan. Jauzan yang tadinya udah siap tidur, langsung mengurung niatnya dan sibuk mikir, dibantu temennya.
"Lo mau balik kesana?" Tanya Gabriel.
Jauzan masih nutup mata, masih syok dan berharap semuanya bohong.
"Zan?"
"Ini beneran gak sih, Yel."
"Sayangnya beneran, Zan."
"Ya Tuhan... Syira..." Jauzan lagi-lagi mengucapkan kata itu, mungkin udah yang kesepuluh kalinya, "Gue... kayaknya harus balik."
"Lo gakmau nunggu kabar darisana dulu? Gue yakin bentar lagi ada info tentang keadaan penumpang kok. Mending lo standby nonton berita dulu. Besok gak usah kuliah, gue bikinin excuse."
Jauzan ngangguk, nepuk bahu Gabriel tanda terima kasih, kemudian langsung streaming salah satu channel TV Indonesia.
Pas banget saat itu news anchor nya bilang, 'Berikut ini adalah keterangan mengenai kondisi sementara dari para penumpang.'

View more

{can't you listen? pt. 3}

"Kamu beneran gak mau abang temenin?" Tanya Kenzo sambil nyelipin entah apa ke tas kecil Syira.
Mama papa pun cuma ngangguk2, keliatan banget khawatirnya, masalahnya Syira bukannya pergi ke Bandung atau ke Padang atau kemana. Ini nyebrang samudra dan benua.
"Gakpapa, bang. Sendiri aja." Ujar Syira yang sebenernya sama ragunya.
"Syir, banyak doa ya di pesawat." Pesan Mayang yang kebetulan ikut ke bandara, Syira cuma senyum, pikirannya lagi kemana-mana. Bayu beneran nggak dateng ke bandara. Sebenernya sih Syira yang bilang gausah ke bandara, tapi kenapa Bayu mesti nurut sih?
Apa dia beneran udah capek banget bilangin Syira?
---

Di rumah, Bayu gak bisa ngapa-ngapain selain mandangin hpnya, dan dia sengaja ngambil cuti siaran cuma buat standby di depan tv, di channel news.
Di hpnya terdisplay daftar flights dari Jakarta ke New York beserta nomor penerbangan plus jam berangkatnya.
Tapi Bayu nggak ngapa-ngapain, dia cuma ngeliatin daftar itu seakan lagi mencoba mengingat semuanya.
"Bay? Kamu gak kerja?" Tanya bunda.
"Nggak, bun, lagi capek."
"Oh... yaudah sarapan dulu gih?"
"Iya, bun, nanti ya..."
"Kamu kok tumben nonton berita?"
"Iya, bun, lagi pengen update aja."
Bunda lagi-lagi cuma bisa maklum. Bunda gaktau kalau Bayu lagi mikirin hal yang bikin kepalanya sakit sendiri. Bunda juga gaktau Syira mau pergi jauh.
---

Syira gakbisa duduk tenang selama nunggu panggilan mengenai flight nya. Tangannya keringat dingin. Dia masih memegang sedikit harapan kalau Bayu baka dateng.
Sesekali dia nengok ke arah pintu kaca, siapa tau ada Bayu disana.
Tapi nggak ada, bahkan sampai speaker di bandara mulai memperdengarkan info tentang flight Syira.
Bayu nggak datang. Bayu nggak ngirim pesan.
---

Bayu masih di rumah. Masih di posisi yang sama. Dan belum sarapan.
"Udah take off..." Ucap Bayu pelan.
"Bayu, kok belum sarapan juga? Kamu kenapa sih?"
"Iya nanti ya, bun."
"Bayu..." Bunda duduk di samping Bayu, sambil ngambil remote tv, "Bunda ganti ya?"
Bayu langsung ngerebut remotenya balik, "Jangan, bun."
"Kamu nunggu berita apa sih?"
Bayu gak berani jawab sampai lima menit, 20 menit, 40 menit kemudian.
40 menit kemudian muncul breaking news.
'Pesawat Jakarta-New York jatuh setelah 35 menit mengudara, diperkirakan jatuhnya pesawat tersebut diakibatkan oleh kondisi mesin pesawat yang kurang baik. Saat ini kami masih menunggu kabar jumlah korban selamat maupun luka-luka. Berikut adalah daftar penumpang dari pesawat tersebut.'
Bayu langsung berkonsentrasi membaca nama tersebut satu persatu.
Dan matanya berhenti di satu nama.
Syira Kezya Fabian, 20 tahun.
Saat itu juga dunia Bayu terasa berhenti berputar.

View more

{can't you listen? pt. 2}

Jam 12 malam Bayu baru sampai rumah, untungnya bunda nggak nanya banyak-banyak kecuali, "Kamu kenapa a'?"
Nggak heran bunda nanya kayak gitu, muka Bayu udah ditekuk seribu, kepalanya ditunduk terus, dan langkahnya gontai.
"Gakpapa bunda..."
Bunda cuma bisa ngeliatin dengan maklum, kemudian ngomong, "Besok pagi cerita ya sama bunda."
Bayu ngangguk, meski sebenernya dia nggak pengen pengen amat cerita karena takut jadi makin khawatir.
Bukan cuma firasat waktu kecelakaan di Bogor yang kejadian, tapi dulu waktu Bayu khawatir Syira diapa-apain pas nunggu dia di tengah keramaian kota, firasat buruknya juga jadi nyata. Untungnya cuma satu, Syira selalu selamat, nggak kayak bayangan-bayangan horor yang muter di pikiran Bayu.
Bayu bener-bener nggak pengen khawatir berlebihan karena takut beneran kejadian lagi. Tapi gimana, dia gak bisa berhenti berprasangka.
---

Seharian Syira mutusin buat gak hubungin Bayu sama sekali supaya niatnya gak runtuh. Syira harus kesana, dia mesti nentuin tempat tinggalnya, mastiin hidup dia gimana disana selama 3 bulan, dan blablabla yang menurut dia gak bakal bisa dilakuin secara instan dan mepet d-day.
Tapi pada akhirnya Syira mikir kalau dia butuh saran dari orang lain.
"Should I go?" Tanya Syira ke Jauzan yang lagi sibuk ngolesin selai coklat ke rotinya, mereka lagi ngobrol via Skype.
Jauzan cuma ngangkat bahu, "Kali ini gue mesti setuju sama Bayu. Cuacanya lagi gak nentu. Kekhawatiran Bayu beralasan. Lagian soal milih tempat tinggal doang lo bisa minta tolong gue kali."
"You don't even know how to reach New York." Ejek Syira yang sukses bikin Jauzan cemberut, "Lo kan cuma tau Depok dan Jakarta Selatan."
"Dan Malioboro. Dan Boston, dan Cambridge." Jauzan nambahin dengan sedikit pride yang tersisa.
"Ya terserah. Jadi gimana nih?"
"Terserah lo aja sih. Pokoknya kalo jadi ya lo kabarin gue aja."
"Hmm," Syira ngangguk, "Yaudah gue pikirin dulu deh. Bye."
Setelah Jauzan bilang Bye balik, Syira langsung tiduran lagi di kasurnya, memandang langit-langit kamarnya, berharap ada jawaban disitu.
Tapi ternyata jawabannya muncul di hp Syira.
Ada chat dari Bayu. Satu kata doang.
'Jadi?'
Jadi apa sih? Ya Tuhan, Bay, kamu tuh serius gak sih mau halangin aku pergi?
Syira udah kesel sendiri, sampai dia akhirnya bilang, 'Ya. Dan gak perlu nganter aku ke bandara besok. Itu pun kalau kamu emang pengen.'
Syira akan pergi. Nggak peduli apa kata Bayu. Nggak peduli apa Bayu mau datang ke bandara sambil marah-marah. Ini hidup Syira, Bayu belum punya hak secara penuh buat larang-larang Syira melakukan hal yang dia inginkan.
Dan untuk kedua kalinya, Syira ngelepas cincin pemberian Bayu sambil ngomong—meski setengah gak percaya kalau dia bakal ngomong seperti itu, meski gak ke Bayu langsung.
"You weren't even considering the commitment as a serious thing, aren't you? It's just a matter of drawing some boundaries around me, to you."

View more

{can't you listen? pt. 1}

Jam 7 malam, di sebuah ruang terbuka umum, Syira tau-tau mengumumkan sesuatu.
"Aku mesti pergi ke New York."
Bayu cuma bisa diem, berusaha mencerna kata-kata Syira barusan.
Pergi.
New York.
Meski udah denger, Bayu tetep memutuskan untuk nanya lagi.
"Kemana?"
"New York."
Alis Bayu bertaut, "Ngapain? Dan kenapa New York? Itu jauh banget..."
"Ada sesuatu yang mesti aku urus."
"Are you a businesswoman or something now?" Kata Bayu dengan nada sarkastik, "Why do I know nothing?"
Syira masih belum natap Bayu, dia selalu begitu setiap kali membicarakan sesuatu yang kira-kira bakal bikin Bayu marah.
"Aku pernah nyoba apply untuk magang disana. And I got it. Dan aku kayaknya harus ngurus sesuatu berkaitan dengan itu disana."
"Kapan? Berapa lama?"
"Lusa. Tiga hari."
"Lusa??"
Syira ngangguk.
"You weren't even sure that you have to do something about it. Kamu tadi bilang 'kayaknya'? Kalau kamu kesana dan ternyata kamu gak perlu ngurus apa-apa?"
"I just have to go."
Bayu diem, there was a thick silence between them, mereka sibuk sama pikirannya masing-masing. Yang satu mikir gimana caranya supaya Bayu bolehin dia pergi, yang satu mikir gimana caranya supaya Syira nggak pergi.
"Kapan kamu magang? Liburan ini?"
"Iya."
"I was thinking about planning our wedding actually." Bayu menghela napas berat. "Don't you have it in your mind?"
"Kenapa sih kamu cuma mikir soal itu dan itu lagi? Aku belum selesai kuliah, Bay. Lagian emangnya dengan kita pakai cincin ini bisa meyakinkan kita kalau kita bakal bener-bener married?"
Bayu langsung kehilangan kata-kata, syok, kenapa tiba-tiba aja Syira ngomong kayak gitu? Dia kira Bayu bercanda di malam tahun baru itu?
"Then why did you say yes?" Suara Bayu udah pelan dan datar banget, matanya mulai dingin, seakan perasaannya baru aja dibunuh dengan kata-kata Syira barusan.
Syira nggak ngasih jawaban apapun. Entah kenapa tiba-tiba hatinya jadi beku.
"Jangan pergi ke New York." Bayu berkata lagi. "At least not now."
"I'm going. Keluargaku udah setuju."
Bayu ketawa tipis, terdengar miris, "And I am nothing to you. My words won't do anything, right?"
Lagi-lagi Syira gak jawab apa-apa. Kadang ada saat dimana Syira nggak suka sama sikap Bayu yang suka mengekang. Dia belum jadi siapa-siapanya Syira, mereka baru pacaran.
Bayu cuma bisa buang pandangannya ke langit yang kosong, gak ada bintang disana.
"Cuacanya lagi nggak bagus, kamu tau gak apa yang aku pikirin?"
"Tau kok."
"I'm afraid of that. I'm afraid of losing you." Pandangannya mulai buram, "Really much."
"I'll be fine."
"Kamu tau kan firasatku sering bener-bener kejadian? Misalnya waktu kamu kecelakaan di Bogor?"
Syira langsung takut sendiri pas inget kejadian di Bogor, tapi dia langsung buang ketakutannya itu, itu baru sekali.
"Jangan takut-takutin aku."
Bayu terkekeh pelan lagi, "Kamu bakal pergi dan gak peduli sama apapun yang aku bilang kan?"
"Iya."
"Should I prepare my heart?"
"You're wishing me dead?"
"I will just die right away if it happens."

View more