Apakah Anda setuju dengan adanya gerbong KRL khusus perempuan?
Gerbong kereta perempuan, jika ditinjau dari sudut kebijakan bisa dibilang mirip dengan "affirmative action". Perempuan disini diposisikan sebagai minoritas dan memiliki hak untuk menikmati transportasi umum yang nyaman.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah, apakah dengan memberikan gerbong khusus perempuan, berarti kita bersifat diskriminatif terhadap kategori sosial lain yang tidak memiliki gerbong khusus? Seperti laki-laki, anak kecil, dan manula. Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana perempuan didefinisikan dalam kebijakan tersebut? Apakah perempuan mengacu pada ekspresi gendernya, atau jenis kelaminnya.
Kembali ke masalah gerbong perempuan, lagi-lagi perspektif lah yang bermain dalam menjawab permasalahan ini. Jika dilihat secara struktural fungsional, gerbong khusus perempuan memiliki fungsi untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Namun jika dilihat dari perspektif kritis (feminisme termasuk perspektif kritis), gerbong khusus perempuan bisa diklasifikasikan sebagai upaya laki-laki untuk mempertahankan supremasinya dengan menempatkan perempuan dalam posisi yang "lemah" dan harus "dilindungi".
Mengenai setuju atau tidaknya, secara pribadi penulis melihat bahwa permasalahan utama dari hadirnya gerbong khusus perempuan adalah kasus pelecehan seksual terhadap perempuan di ruang publik yang sudah mencapai angka kritis. Dan inilah yang sebenarnya harus diperbaiki. Keberadaan gerbong khusus perempuan harus diikuti oleh upaya pencerdasan publik, oleh pemerintah tentunya, tentang bagaimana mengajarkan diri kita sendiri untuk tidak melecehkan dan dilecehkan secara seksual. Disinilah konteks budaya Indonesia yang menganggap seks sebagai sebuah hal yang tabu menjadi hambatan, bayangkan saja, bagaimana mengajarkan orang untuk tidak melecehkan dan dilecehkan sementara mereka tidak mau membicarakan hal tersebut?.
Jika hal diatas dapat dilakukan, dalam rentang waktu satu generasi, penulis menganggap bahwa gerbong khusus perempuan akan menjadi sesuatu yang tidak lagi relevan. Sekian.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah, apakah dengan memberikan gerbong khusus perempuan, berarti kita bersifat diskriminatif terhadap kategori sosial lain yang tidak memiliki gerbong khusus? Seperti laki-laki, anak kecil, dan manula. Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana perempuan didefinisikan dalam kebijakan tersebut? Apakah perempuan mengacu pada ekspresi gendernya, atau jenis kelaminnya.
Kembali ke masalah gerbong perempuan, lagi-lagi perspektif lah yang bermain dalam menjawab permasalahan ini. Jika dilihat secara struktural fungsional, gerbong khusus perempuan memiliki fungsi untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Namun jika dilihat dari perspektif kritis (feminisme termasuk perspektif kritis), gerbong khusus perempuan bisa diklasifikasikan sebagai upaya laki-laki untuk mempertahankan supremasinya dengan menempatkan perempuan dalam posisi yang "lemah" dan harus "dilindungi".
Mengenai setuju atau tidaknya, secara pribadi penulis melihat bahwa permasalahan utama dari hadirnya gerbong khusus perempuan adalah kasus pelecehan seksual terhadap perempuan di ruang publik yang sudah mencapai angka kritis. Dan inilah yang sebenarnya harus diperbaiki. Keberadaan gerbong khusus perempuan harus diikuti oleh upaya pencerdasan publik, oleh pemerintah tentunya, tentang bagaimana mengajarkan diri kita sendiri untuk tidak melecehkan dan dilecehkan secara seksual. Disinilah konteks budaya Indonesia yang menganggap seks sebagai sebuah hal yang tabu menjadi hambatan, bayangkan saja, bagaimana mengajarkan orang untuk tidak melecehkan dan dilecehkan sementara mereka tidak mau membicarakan hal tersebut?.
Jika hal diatas dapat dilakukan, dalam rentang waktu satu generasi, penulis menganggap bahwa gerbong khusus perempuan akan menjadi sesuatu yang tidak lagi relevan. Sekian.